Yogyakarta – Pra Musyawarah Wilayah (Muswil) VII, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Provinsi DIY menggelar Focus Group Discussion (FGD)-1 dengan tema “Peran Ormas Keagamaan dalam Menjaga Keharmonisan di Tengah-tengah Keberagaman dan Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Sabtu (26/6/2021).
FGD-1 ini bertempat di Aula Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) DIY sebagai studio utama. Menghadirkan narasumber di antaranya Kakanwil Kemenag DIY Drs. H. Edhi Gunawan, M.Pd.I., Budayawan Yogyakarta GKR Mangkubumi hadir secara virtual, Sekretaris Dinas Kebudayaan DIY Cahyo Widayat, S.H., M.Si., Wakil Ketua Forum kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY DR. G. Sri Nurhartanto, dan Ketua DPP LDII Dr. Ir. H. Teddy Suratmadji, M.Sc. yang juga hadir secara virtual.
FGD-1 dipimpin moderator yang juga pengurus DPP LDII Dr. H. Ardito Bhinadi, S.E., M.Si. FGD-1 diikuti sebanyak 250 orang secara daring yang terdiri dari pengurus DPD dan PC LDII se-DIY serta Kakak-kakak Kwarda Pramuka DIY.
Hadir di studio utama pengurus DPW LDII DIY, Komisi Pemberdayaan Ekonomi Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY H. Surono, S.E., Badan Kesbangpol DIY, Pengurus Wilayah NU DIY, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, FKUB DIY Perwakilan Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Ketua DPW LDII DIY Dr. H. Wahyudi, M.S., dalam sambutannya mengatakan Pra Muswil VII DPW LDII DIY akan melaksanakan tiga kali FGD, “FGD pertama hari ini tentang keberagaman agama dan budaya, FGD kedua tentang pendidikan karakter yang akan diselenggarakan bulan Juli 2021, dan FGD ketiga tentang wawasan kebangsaan dan bela negara yang akan diselenggarakan bulan Agustus 2021,” jelasnya.
Jogja adalah miniatur Indonesia karena di dalamnya terdapat beragam suku, agama, golongan, budaya, dan bahasa. Melalui keberagaman tersebut tumbuh toleransi yang tinggi. “Keberagaman ini tidak lepas dari keberadaan keraton yang memiliki tradisi turun temurun, namun ketika bertemu dengan agama maka keduanya dapat berjalan damai dan saling menguntungkan,” ungkapnya.
Faktanya, kata H. Wahyudi, agama tidak menolak tradisi secara keseluruhan, ajaran agama yang melahirkan tradisi baru membawa bukti bahwa agama bisa memberi ruang pada nilai-nilai lokal yang dianggap baik. Atas keberagaman ini, Wahyudi berpesan toleransi yang sudah tumbuh ini jangan sampai mengalami pergeseran.
Memasuki pemaparan pertama, narasumber Kakanwil Kemenag DIY Drs. H. Edhi Gunawan, M.Pd.I., mengapresiasi kegiatan LDII dalam rangka berkontribusi bagaimana memerankan ormas keagamaan dalam membangun keharmonisan di DIY.
“Diketahui, DIY yang sangat luar biasa beragam agamanya, budayanya, ini rentan dengan perpecahan dan ketidakharmonisan di masyarakat,” katanya. Di DIY sendiri, H. Edhi menyebutkan, juga pernah terjadi peristiwa-peristiwa yang rentan disharmoni. “Semuanya bisa terselesaikan, namun tetap perlu waspada jangan sampai peristiwa tersebut terulang lagi,” tuturnya.
Lalu masyarakat harus bagaimana, H. Edhi mengatakan pemerintah mempunyai kewajiban mewujudkan situasi kondisi yang ada di DIY ini menjadi harmonis dan membangun kerukunan umat beragama yang menjadi pilar kerukunan nasional. “Karena kerukunan nasional terwujud, maka pembangunan nasional akan mudah dilakukan,” imbuhnya.
Menyikapi beberapa konflik keagamaan, maka dibutuhkan peran ormas keagamaan yakni memberikan pencerahan kepada umat masing-masing tentang pentingnya ajaran agama dalam membangun kerja sama, persaudaraan dan kebersamaan.
“Perlu disadari bahwa kita hidup bertetangga, supaya hidup kita bisa harmonis tentu dengan menjalin komunikasi yang baik,” jelasnya.
Selanjutnya, menjadi tokoh panutan dan tokoh kunci dalam melakukan rekonsiliasi atas konflik sosial/agama yang terjadi. “Menjadi pengayom dan mediasi dari pihak-pihak yang berkonflik, dan membangun komunikasi dan koordinasi baik vertikal maupun horizontal di daerah dalam rangka mewujudkan kerukunan dan keserasian sosial daerah,” pungkasnya.
Sementara itu, GKR Mangkubumi menceritakan sejarah negara Indonesia hingga mengerucut keistimewaan DIY. “Status keistimewaan ini tentu didapat dengan perjuangan, kearifan, dan masyarakatnya yang istimewa. Nah, status ini yang harus kita banggakan dan itu adalah hasil kerja keras dan perjuangan hingga saat ini status yogyakarta adalah istimewa, ini harus benar-benar dipegang teguh,” katanya. GKR Mangkubumi mengajak kepada masyarakat dengan keberagaman dan keistimewaan di Jogja untuk dijaga bersama-sama.
“Ini semua menjadi tugas kita bersama baik LDII, FKUB, dan masyarakat hingga tingkat RT, kalau bukan kita siapa lagi?” tandasnya.
Berbicara keistimewaan DIY, salah satunya adalah bagaimana keberagaman di jogja ini terjaga dengan baik, sehingga jogja dikatakan kota yang toleransi, provinsi yang toleransi. Berbicara pendidikan, di Jogja terdapat banyak sekali institusi pendidikan dari paud hingga perguruan tinggi. Bahkan, banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke jogja.
“Ini lah keberagaman yang ada di Jogja,” kata GKR Mangkubumi. Bicara budaya, adalah bagaimana kita hidup saling tolong menolong, menghormati, menghargai, dan gotong royong, ini adalah ciri khas masyarakat di Jogja.
“Berbicara agama, kita menghargai keberagaman agama dan mempelajarinya, tapi kita punya yang lebih prioritas adalah budaya kita sendiri dan bagaimana menjadikan jogja ini semakin nyaman,” ungkapnya.
GKR Mangkubumi menambahkan, perlu juga mengedukasi masyarakat untuk paham betul dengan keberagaman agama dan budaya di Jogja guna meminimalisir intoleransi. “Dalam momen yang baik ini, mari bersama kita cari solusinya agar permasalahan kecil di jogja baik tentang agama maupun budaya bisa segera terselesaikan,” tutupnya.
Selanjutnya, Sekretaris Dinas Kebudayaan DIY Cahyo Widayat, S.H., M.Si., memaparkan dalam materinya “Menjaga Keberagaman Budaya DIY”. “Sebagaimana yang disampaikan GKR Mangkubumi, keistimewaan DIY harus mampu membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial yang berperikeadilan,” katanya. Kondisi eksisting potensi budaya di DIY di masing-masing kabupaten/kota cukup banyak, sehingga keberagaman ini harus dibina, dijaga, sebagai modal dasar untuk membangun keharmonisan.
“Jangan sampai peninggalan budaya oleh leluhur ini menjadi media untuk saling beda pendapat. Oleh karena itu, pemerintah DIY menugaskan Dinas Kebudayaan untuk melaksanakan pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan,” ungkapnya.
Wakil Ketua FKUB DIY DR. G. Sri Nurhartanto mengatakan, dalam menciptakan DIY yang damai dan bermartabat, dibutuhkan peran FKUB. Sebuah realitas bahwa DIY mendapat julukan kota pelajar, daerah tujuan wisata, miniatur Indonesia, dan City of Tolerance.
Semua komponen tersebut diharapkan mampu bersinergi, “Karena keberagaman yang merupakan kekayaan DIY bisa saja menjadi konflik yang dipicu oleh sentimen SARA,” ungkapnya. Adapaun kegiatan FKUB DIY dalam moderasi beragama menuju DIY yang damai dan bermartabat dapat diwujudkan melalui dialog tentang Kerukunan Umat Beragama dengan pihak eksternal dan internal, menyelenggarakan webinar tentang peran tokoh agama (pemuka agama) dalam menghadapi pandemi Covid-19.
“Penulisan buku peran tokoh agama dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan peluncuran buku dan bedah buku peran tokoh agama dalam menghadapi pandemi Covid-19,” pungkas mantan Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Narasumber terakhir, Ketua DPP LDII Dr. Ir. H. Teddy Suratmadji, M.Sc., membawakan materi dengan judul “Keniscayaan 3 Ukhuwah Dalam Rangka Harmonisasi Keberagaman Agama dan Budaya di DIY”.
“Diharapkan melalui FGD ini memberikan gagasan solutif yang aplikatif,” harapnya. Solusi aplikatif yang ditawarkan seperti komunikasi intens dan terjadwal. “Komunikasi bisa dalam bentuk musyawarah, silaturahmi, seminar, webinar, dan memanfaatkan momen seperti hari-hari besar nasional, dan hari besar keagamaan,” jelasnya.
H. Teddy berpesan kepada peserta FGD-1 untuk melaksanakan 3 ukhuwah (islamiyah, insaniyah, wathoniyah) dan menghindari komunikasi tentang perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Selain itu, pihak pemerintah seyogyanya menjadi mediator komunikasi dimaksud.
“Kondisi DIY yang plural dan multi-etnis, serta sebagai kota pendidikan dan kota tujuan wisata berpotensi mendatangkan hal-hal yang negatif dan memerlukan pesan serta ormas untuk mencegah dan menanggulanginya,” tutup H. Teddy.
Oleh: Uyun Kusuma (contributor) / Fachrizal Wicaksono (editor)